Senin, 04 Juni 2012


Putusan MA Tanpa Perintah Penahanan


Oleh Nadhiev Audah
Dalam putusan Mahkamah Agung (MA) terhadap terpidana Parlin Riduansyah disebutkan Parlin bersalah dan dihukum penjara, namun tidak ada perintah hakim kepada Kejaksaan Agung supaya menahan Parlin sebagai terdakwa. Menurut pakar hukum yang juga mantan Menkumham Yusril Ihza Mahendra, putusan semacam itu merupakan putusan yang salah dan melanggar pasal 197 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang aturan surat pemidanaan atau berkas putusan hakim. Yang mana Yusril sebelumnya meminta pendapat 7 guru besar hukum, dan kesemuanya sepakat bahwa putusan demikian harus batal demi hukum, atau dianggap tidak pernah ada, sehingga tidak dapat dieksekusi.
Hal senada juga diucapkan oleh Ketua Komisi III DPR, Benny K. Harman yang mengatakan bahwa jaksa tidak boleh mengeksekusi putusannya karena dianggap merampas kemerdekaan hidup yang dipidana. Dan Yusril mengancam akan mempolisikan jaksa dari Kejaksaan Negeri Banjarmasin, Kalimantan Selatan jika tetap bersikeras melakukan eksekusi terhadap Direktur Utama PT. Satui Bara Tama (PT SBT), Parlin Riduansyah.
Terkait masalah tersebut, Jaksa Agung Muda Pengawasan Marwan Effendy menyatakan tidak ada masalah dalam proses eksekusi putusan MA, walaupun tidak dicantumkan klausul perintah eksekusi. Marwan mengingatkan kalau membaca pasal itu harus pakai logika hukum. Logika perlu tidak putusan MA, baik putusan kasasi maupun peninjauan kembali (PK) mencantukan agar terpidana ditahan. Dikarenakan terpidana sudah dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana penjara maka tidak perlu perintah penahanan dan bisa langsung dieksekusi.
Dicontohkan dalam berita itu putusan MA terhadap Parlin Riduansyah, Dirut PT Satui Bara Tama, yang dipidana tiga tahun penjara. Namun dalam putusannya MA tidak mencantumkan norma yang diatur KUHAP dalam pasal 197 (1) huruf k, antara lain, berbunyi bahwa putusan pemidanaan memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan. Dalam pasal 197 (2) yang berbunyi bahwa tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat 1 huruf k ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Dan bagaimana kalau putusan MA yang amarnya tidak memuat perintah penahanan terdakwa ? Apakah tidak dapat dieksekusi ?
Dalam koran kompas tertanggal 30 mei 2012 yang saya baca di halaman 7 artikel tentang Putusan MA dan Perintah Penahanan yang ditulis oleh Trimoelja D Soerjadi mengatakan pertama, bahwa putusan MA merupakan putusan akhir otomatis yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan demi hukum sudah mempunyai kekuatan eksekutorial (dapat dieksekusi) sejauh putusan itu mencantumkan irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Irah-irah itu merupakan titel eksekutorial dari putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Kalaupun putusan pidana MA mencantumkan perintah penangkapan tedakwa, putusan itu tidak dapat dilaksanakan jika alpa mencantumkan irah-irah itu. Benar atau salah, adil atau tidak adil, putusan itu harus dilaksanakan.
Kedua, kewenangan menahan atau tidak menahan merupakan kewenangan diskresioner. Jadi, tidak ada ketentuan yang mengharuskan atau mewajibkan agar tersangka atau terdakwa ditahan. Pasal 197 (3) KUHAP yang menjelaskan bahwa putusan MA merupakan putusan akhir dan tidak ada upaya hukum biasa bisa membatalkannya dan karena itu putusan MA langsung mempunyai kekuatan hukum tetap dan harus segera dilaksanakan. Hal itu juga disimpulkan dari ketentuan tentang permohonan peninjauan kembali (PK) yang diatur dalam KUHAP. Permohonan PK yang merupakan upaya hukum luar biasa tehadap putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap tidak menangguhkan eksekusi putusan tersebut (Pasal 268 [1] KUHAP).
Maka yang harus diperhatikan bahwa menurut ketentuan Pasal 20 (3) jo Pasal 28 (1) KUHAP, perintah penahanan oleh hakim dikeluarkan sejauh hal itu menurut penilaian hakim perlu untuk kepentingan pemeriksaan di sidang. Ketika hakim MA sudah mengetokkan palu sewaktu menjatuhkan pidana, pemeriksaan sudah selesai. Maka dari itu tidak logis ketika pemeriksaan di sidang sudah selesai, amar putusan harus mencantumkan perintah agar terdakwa ditahan.
Ketiga, putusan hakim menciptakan hukum setiap ketentuan undang-undang tidak jelas mengatur sesuatu. Oleh karena hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan undang-undang tidak jelas mengatur. Hakim harus menafsirkan (interpretasi) dan melengkapi kekurangan dalam undang-undang. Itu sebabnya dikatakan putusan hakim menciptakan hukum.
Beberapa kali MA mengabulkan PK yang diajukan kejaksaan. Padahal hal tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 263 (1) KUHAP yang menentukan bahwa yang dapat mengajukan PK terpidana atau ahli warisnya. Contoh lain dari hukum yang bertentangan dengan undang-undang yaitu beberapa kali MA di tingkat kasasi dalam kasus korupsi menjatuhkan pidana dibawah ancaman pidana minimal yang ditetapkan dalam UU No 31/2001 tentang Pemberantasan Tipikor. Meskipun putusan MA tersebut kontroversial, tidak bisa dikatakan bahwa putusan MA yang bersangkutan batal demi hukum. Penjelasan MA adalah bahwa akan dirasakan sangat tidak adil, koruptorbyang terbukti melakukan korupsi Rp 10 juta ex Pasal 12 UU No 20/2001 harus dipidana empat tahun penjara (minimal ancaman pidana untuk pelanggar pasal itu) sedangkan koruptor lain yang terbukti korupsi Rp 5 miliar, misalnya juga diganjar empat tahun penjara.
Maka dari keterangan di atas pendapat dari Trimoelja D Soerjadi bahwa putusan tersebut tidak batal demi hukum dan dapat dieksekusi.
Namun sebenarnya sebagai penegak hukum seharusnya tidak perlu menafsirkan pasal tersebut kemana-mana dan tetap mengacu pada Pasal 197 (1) dan (2) yang mana isinya jelas dan tegas mengenai putusan yang batal demi hukum.



Referensi :
Koran Kompas tertanggal 30 mei 2012Hal 7
http://www.rmol.co/read/, 2 Juni 2012
http://nasional.kompas.com/read/, 2 Juni 2012

Senin, 20 Februari 2012

Perlindungan Hukum Satwa Langka

 
 
PERDAGANGAN SATWA LANGKA YANG DILINDUNGI DI INDONESIA

Indonesia merupakan Negara yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati serta tingkat endemisme (keunikan)  yang sangat tinggi sehingga dimasukkan dalam salah satu negara mega biodiversity (PHPA 2005). Menurut World Conservation Monitoring Committee Indonesia (1994) kekayaan alam Indonesia berupa keanekaragaman hayati tersebut antara lain  memiliki 1.539 jenis burung (17% dari seluruh jenis burung di dunia).
            Pada tahun 2003 Pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 516/Kpts-II/1995 yang kemudian ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 telah menetapkan nama dan jenis fauna langka yang dilindungi yaitu sekurang-kurangnya ada 236 jenis satwa yang dilindungi dengan perincian 70 jenis Mamalia, 93 jenis Aves, 31 jenis Reptilia, 7 jenis Pisces, 20 jenis Insecta, 1 jenis Anthozoa dan 14 jenis Bivalvia.
            Oleh karena satwa-satwa tersebut memiliki potensi ekonomis dan nilai jual yang tinggi, maka penyelundupan atau smuggling terhadap satwa-satwa langka yang dilindungi ini marak dilakukan. penyelundupan satwa langka in sangatlah mengkhawatirkan karena kegiatan tersebut tidak tercatat dalam statistik resmi kegiatan ekspor. hal ini tentu saja sangat merugikan negara karena ada potensi pajak yang hilang. Bayangkan saja di pasaran Internasional, seekor bayi orangutan dihargai sekitar USD 2500.  dan tidak lama ini telah terungkap bahwa kurang lebih ada 200 orangutan Indonesia yang diselundupkan ke Negara tersebut. dengan kurs 1 dollar saat ini berkisar RP. 9.800,- maka dapat terhitung potensi kerugian Negara atas penyelundupan tersebut adalah kurang lebih sebesar Rp. 4,900,000,000.
            Angka tersebut baru kita dapatkan dari suatu kasus yang ada, masih banyak kasus-kasus lain dan satwa-satwa langka lain yang dijual ke luar negeri secara illegal. seperti contoh lainnya mengenai penyelundupan burung Kakatua jambul Kuning yang juga merupakan komoditi yang banyak diminati. menurut WWF Manokwari, setiap 4 bulan ada 6.480 ekor burung Kakatua Jambul Kuning yang diselundupkan ke Singapura dengan harga jual berkisar Rp. 5.000.000 setiap ekornya. bisa kita bayangkan berapa uang Negara hilang senilai Rp. 32.400.000.000.
            Contoh kasus di atas hanya dari beberapa kasus yang termonitoring, masih banyak lagi kasus-kasus penyelundupan dan perdagangan illegal satwa langka yang dilindungi ini dijual ke luar negeri yang tidak termonitoring.
            Ada beberapa alasan mengapa perdagangan satwa ini terjadi, yaitu :
·         Makanan, merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat untuk menjamin keberlangsungan hidup mereka. menurut TRAFFIC peningkatan ketergantungan terhadap daging meningkat sebagai akibat dari meningkatnya populasi manusia dan angka kemiskinan.
Contoh : Suku Dayak Punan masih sering memburu Orangutan untuk dimakan dagingnya.
·         Pakaian dan Aksesoris, seperti kulit, bulu, dan sebagainya.
contoh : Pakaian tradisional maupun pakaian modern yang dibaut dari kulit Musang, Beruang, atau Harimau.
·         Olahraga, perburuan hewan sebagai sarana olahraga.
Contoh : Perburuan Burung Elang atau perburuan Rubah.
·         Kesehatan dan Perawatan, obat-obatan tradisional hingga kebutuhan farmasi. diperkirakan 80% penduduk dunia tergantung pada perawatan kesehatan dari obat-obatan tradisional.
Contoh : Masyarakat Cina menggunakan tulang Harimau sebagai bahan baku obat tradisional mereka.
·         Agama, dalam penggunaanritual keagamaan atau tradisional.
Contoh : Masyarakat Bali masih menggunakan Penyu sebagai salah satu kelengkapan dalam upacara adatnya.
·         Koleksi, banyak spesies yang dibeli baik dalam keadaan hidup maupun mati sebagai koleksi. Hal ini dilakukan baik oleh Museum maupun individu pribadi.
Contoh : Kulit Harimau atau beruang yang digunakan sebagai tikar.
            Kerugian yang timbul dalam perdagangan satwa liar bukan saja meliputi bidang ekonomi dan sosial melainkan juga mencakup nilai-nilai kehidupan (value and culture) yang menjadi kebanggaan bangsa dan negara. Hal ini dapat dikatakan karena secara fakta dan diakui secara Internasional, Indonesia termasuk tiga negara yang memiliki keanekaragaman hayati (biodiversity) terbesar di dunia bersama Zaire dan Brazil. Dimana berdasarkan penelitian lembaga Internasional jelas-jelas menyatakan bahwa biodeversity Indonesia memiliki tingkat kekhasan (endemism) yang sangat tinggi. Tidak hanya itu, dari 300.000 satwa liar yang ada di seluruh dunia, 17% berada di hutan Indonesia. Sebanyak 515 jenis mamalia dan 1539 jenis burung serta 45% jenis ikan di dunia hidup di perairan Indonesia.
            Padahal dalam undang-undang sudah diatur mengenai larangan baik memperjual-belikan satwa yang dilindungi maupun memelihara atau memiliki satwa langka yang dilindungi tersebut. dalam undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya dalam Bab V Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, pasal 21 ayat (2)a menyebutkan bahwa setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup. Namun kenyataannya larangan yang ada dalam undang-undang ini tidak membuat para pelaku untuk memperjual-belikan satwa tersebut takut, malah satwa tersebut makin marak diperjual-belikan dan ada tempat yang khusus memperjual-belikan satwa yang dilindungi tersebut.
            Seperti di Pasar Burung Splendid Malang, memang satwa-satwa tersebut tidak secara terang di tempatkan di depan toko hewan tersebut, pedagang tersebut menyembunyikan dulu hewan yang dilindungi itu di dalam tokonya, apabila ada pembeli yang bertanya baru mereka menawarkannya kepada pembeli. Seperti anak harimau sering ditemui di Pasar Splendid Malang tersebut untuk dijual oleh pedagang. padahal harimau telah ditetapkan sebagai satwa yang dilindnungi oleh Pemerintah dalam Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 dan tidak boleh diperjual-belikan oleh masyarakat umum.
            Hal tersebut juga diungkapkan oleh ketua ProFauna Indonesia, Rosek Nursahid, ProFauna sudah menemukan berbagai jenis satwa dilindungi disembunyikan di rumah para pedagang di sekitar Pasar Burung Splendid. dan kata Rosek Nursahid pembelinya adalah warga Malang sendiri dan para wisatawan yang datang ke Kota Malang. salah satu satwa yang dijual di sana yaitu Lutung Jawa (Trachipithecus Auratus) yang merupakan satwa endemik Pulau Jawa.
            Perdagangan satwa dilindungi adalah melanggar UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa pelaku perdagangan satwa dilindungi dapat dijerat hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp 100 juta. Meskipun sudah ada hukum yang melindungi satwa liar dari perdagangan ilegal, namun pada prakteknya perdagangan satwa liar masih terjadi secara terbuka di banyak tempat di Indonesia.
            Perdagangan satwa liar tersebut menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa karena kebanyakan mereka hasil tangkapan dari alam. Hal ini akan membuat satwa liar asli Indonesia menjadi semakin terancam punah, apalagi ditunjang dengan habitat satwa liar yang kian menyempit dan menurun kualitasnya. ProFauna memandang sudah saatnya isu perdagangan satwa liar menjadi isu nasional, hal ini untuk memastikan agar semua aparat penegak hukum di Indonesia bisa bekerja lebih efesien dan terkoordinir dalam memerangai perdagangan satwa liar ilegal.


Referensi :
http://jendelagertak.blogspot.com/2010/03/satwa-langka.html, diakses 14 feb 2012
http://advokatku.blogspot.com/2006/01/sejuta-potensi-kerugian-negara-atas.html, diakses 14 feb 2012
http://:traffic.org/trade/wildlifeTrade: What is it?, diakses 2 feb 2012
http://cocomerina.wordpress.com/ 14 feb 2012
http://www.surabayapagi.com, diakses 2 feb 2012

Kamis, 26 Januari 2012

Sifat Melawan Hukum

    Dalam hukum pidana  sifat melawan hukum merupakan suatu hal yang sangat penting karena dalam hukum pidana itu sendiri yang menjadi fokus mengenai perbuatan yang dikatakan tindak pidana apabila ada unsur sifat melawan hukum tersebut. maka suatu perbuatan yang tidak dilarang oleh hukum tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan yang bersifat melawan hukum. Unsur dari sifat melawan hukum ini merupakan unsur obyektif dari tindak pidana, yaitu dilihat dari perbuatannya bukan dari pembuatnya.
    Secara umum hukum pidana ada dua jenis sifat melawan hukum, yaitu sifat melawan hukum formil dan sifat melwan hukum materiil.
  1. Sifat Melawan Hukum Formil
    Mengenai sifat melawan hukum formil yaitu apabila perbuatan itu diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu tindak pidana dalam undang-undang. Jadi suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila perbuatan tersebut jelas dirumuskan dalam undang-undang. sedangkan perbuatan yang tidak dirumuskan sebagai tindak pidana dalam undang-undang (sekalipun perbuatan tersebut sangat merugikan masyarakat) tidak dapat dianggap sebagai perbuatan yang besifat melawan hukum. Dan dalam hal yang dapat "menghapus" sifat melawan hukumnya perbuatan hanyalah undang-undang (hukum tertulis).
    Sebagai contohnya yaitu seorang polisi (penyidik) melakukan penahanan terhadap seorang tersangka. Maka dalam hal ini penyidik tersebut tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan "melawan hukum" sebagaimana dalam Pasal 333 KUHP (Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun). Jadi dalam hal ini penyidik menahanj tersangka tidak dapat dikatakan merampas kemerdekaan seseorang secara melawan hukum, sebab penyidik meljalankan perintah undang-undang sebagaimana diatu dalam pasal 50 KUHP (Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana).
 
    2.    Sifat Melawan Hukum Materiil
 
    Perbuatan sifat melawan hukum materiil tidak hanya didasarkan pada undang-undang saja (hukum tertulis), melainkan juga dilihat dari asas-asas hukum yang tidak tertulis. Jadi suatu perbuatan dikatakan bersifat melawan hukum apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis) atau bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
    Contoh dalam kasus seorang menembak mati temannya atas permintaannya sendiri, oleh karena ia luka berat dan tidak mungkin hidup terus, apabila tidak segera mendapat pertolongan dari dokter, karena dalam ekspedisi di Kutub Selatan.
    Dalam kasus di atas, meskipun orang tersebut telah menembak mati temannya atas permintaan sendiri, namun sebenarnya dalam hukum pidana, perbuatan orang itu merupakan tindak pidana, karena melanggar Pasal 344 KUHP (Barang siap merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun). namun, oleh karena perbuatan tersebut dilakukan atas pertimbangan kemanusiaan, maka sifat melawan hukumnya menjadi hapus. namun juga dalam hal ini tidak dapat dimasukkan untuk semua kasus, karena harus dapat dibuktikan dahulu bahwa ada kondisi yang memang menjadikan penembakan "dianggap" patut, seperti tidak dimungkinkannya didatangkan dokter ke tempat kejadian.