Putusan MA Tanpa Perintah Penahanan
Oleh
Nadhiev Audah
Dalam putusan Mahkamah Agung (MA) terhadap
terpidana Parlin Riduansyah disebutkan Parlin bersalah dan dihukum penjara,
namun tidak ada perintah hakim kepada Kejaksaan Agung supaya menahan Parlin
sebagai terdakwa. Menurut pakar hukum yang juga mantan Menkumham Yusril Ihza
Mahendra, putusan semacam itu merupakan putusan yang salah dan melanggar pasal
197 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang aturan surat
pemidanaan atau berkas putusan hakim. Yang mana Yusril sebelumnya meminta
pendapat 7 guru besar hukum, dan kesemuanya sepakat bahwa putusan demikian
harus batal demi hukum, atau dianggap tidak pernah ada, sehingga tidak dapat
dieksekusi.
Hal senada juga diucapkan oleh Ketua
Komisi III DPR, Benny K. Harman yang mengatakan bahwa jaksa tidak boleh
mengeksekusi putusannya karena dianggap merampas kemerdekaan hidup yang
dipidana. Dan Yusril mengancam akan mempolisikan jaksa dari Kejaksaan Negeri
Banjarmasin, Kalimantan Selatan jika tetap bersikeras melakukan eksekusi
terhadap Direktur Utama PT. Satui Bara Tama (PT SBT), Parlin Riduansyah.
Terkait masalah tersebut, Jaksa Agung
Muda Pengawasan Marwan Effendy menyatakan tidak ada masalah dalam proses
eksekusi putusan MA, walaupun tidak dicantumkan klausul perintah eksekusi.
Marwan mengingatkan kalau membaca pasal itu harus pakai logika hukum. Logika
perlu tidak putusan MA, baik putusan kasasi maupun peninjauan kembali (PK)
mencantukan agar terpidana ditahan. Dikarenakan terpidana sudah dinyatakan
bersalah dan dijatuhi pidana penjara maka tidak perlu perintah penahanan dan
bisa langsung dieksekusi.
Dicontohkan dalam berita itu putusan
MA terhadap Parlin Riduansyah, Dirut PT Satui Bara Tama, yang dipidana tiga
tahun penjara. Namun dalam putusannya MA tidak mencantumkan norma yang diatur
KUHAP dalam pasal 197 (1) huruf k, antara lain, berbunyi bahwa putusan
pemidanaan memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan
atau dibebaskan. Dalam pasal 197 (2) yang berbunyi bahwa tidak dipenuhinya
ketentuan dalam ayat 1 huruf k ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Dan bagaimana kalau putusan MA yang
amarnya tidak memuat perintah penahanan terdakwa ? Apakah tidak dapat
dieksekusi ?
Dalam koran kompas tertanggal 30 mei
2012 yang saya baca di halaman 7 artikel tentang Putusan MA dan Perintah
Penahanan yang ditulis oleh Trimoelja D Soerjadi mengatakan pertama, bahwa
putusan MA merupakan putusan akhir otomatis yang sudah mempunyai kekuatan hukum
tetap dan demi hukum sudah mempunyai kekuatan eksekutorial (dapat dieksekusi)
sejauh putusan itu mencantumkan irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa". Irah-irah itu merupakan titel eksekutorial dari
putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Kalaupun putusan
pidana MA mencantumkan perintah penangkapan tedakwa, putusan itu tidak dapat
dilaksanakan jika alpa mencantumkan irah-irah itu. Benar atau salah, adil atau
tidak adil, putusan itu harus dilaksanakan.
Kedua, kewenangan menahan atau tidak
menahan merupakan kewenangan diskresioner. Jadi, tidak ada ketentuan yang
mengharuskan atau mewajibkan agar tersangka atau terdakwa ditahan. Pasal 197
(3) KUHAP yang menjelaskan bahwa putusan MA merupakan putusan akhir dan tidak
ada upaya hukum biasa bisa membatalkannya dan karena itu putusan MA langsung
mempunyai kekuatan hukum tetap dan harus segera dilaksanakan. Hal itu juga
disimpulkan dari ketentuan tentang permohonan peninjauan kembali (PK) yang
diatur dalam KUHAP. Permohonan PK yang merupakan upaya hukum luar biasa tehadap
putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap tidak menangguhkan
eksekusi putusan tersebut (Pasal 268 [1] KUHAP).
Maka yang harus diperhatikan bahwa
menurut ketentuan Pasal 20 (3) jo Pasal 28 (1) KUHAP, perintah penahanan oleh
hakim dikeluarkan sejauh hal itu menurut penilaian hakim perlu untuk
kepentingan pemeriksaan di sidang. Ketika hakim MA sudah mengetokkan palu
sewaktu menjatuhkan pidana, pemeriksaan sudah selesai. Maka dari itu tidak
logis ketika pemeriksaan di sidang sudah selesai, amar putusan harus
mencantumkan perintah agar terdakwa ditahan.
Ketiga, putusan hakim menciptakan
hukum setiap ketentuan undang-undang tidak jelas mengatur sesuatu. Oleh karena
hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan undang-undang tidak jelas
mengatur. Hakim harus menafsirkan (interpretasi) dan melengkapi kekurangan dalam
undang-undang. Itu sebabnya dikatakan putusan hakim menciptakan hukum.
Beberapa kali MA mengabulkan PK yang
diajukan kejaksaan. Padahal hal tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal
263 (1) KUHAP yang menentukan bahwa yang dapat mengajukan PK terpidana atau
ahli warisnya. Contoh lain dari hukum yang bertentangan dengan undang-undang
yaitu beberapa kali MA di tingkat kasasi dalam kasus korupsi menjatuhkan pidana
dibawah ancaman pidana minimal yang ditetapkan dalam UU No 31/2001 tentang
Pemberantasan Tipikor. Meskipun putusan MA tersebut kontroversial, tidak bisa
dikatakan bahwa putusan MA yang bersangkutan batal demi hukum. Penjelasan MA
adalah bahwa akan dirasakan sangat tidak adil, koruptorbyang terbukti melakukan
korupsi Rp 10 juta ex Pasal 12 UU No 20/2001 harus dipidana empat tahun penjara
(minimal ancaman pidana untuk pelanggar pasal itu) sedangkan koruptor lain yang
terbukti korupsi Rp 5 miliar, misalnya juga diganjar empat tahun penjara.
Maka dari keterangan di atas pendapat
dari Trimoelja D Soerjadi bahwa putusan tersebut tidak batal demi hukum dan
dapat dieksekusi.
Namun sebenarnya sebagai penegak
hukum seharusnya tidak perlu menafsirkan pasal tersebut kemana-mana dan tetap
mengacu pada Pasal 197 (1) dan (2) yang mana isinya jelas dan tegas mengenai
putusan yang batal demi hukum.
Referensi :
Koran Kompas tertanggal 30 mei 2012Hal
7
http://www.rmol.co/read/,
2 Juni 2012
http://nasional.kompas.com/read/,
2 Juni 2012