Selasa, 13 Januari 2015

Pertikaian Rumah Susun Berawal dari Aspek Hukum



Pertikaian Rumah Susun Berawal dari Aspek Hukum



Oleh Nadhiev Audah

Permasalahan rumah susun atau apartemen yang mencuat di permukaan dikarenakan tingginya investasi rumah susun yang tidak dibarengi dengan pengetahuan hukum yang terkait  dengan rumah susun, mereka tidak memperhatikan aspek-aspek yang dikemudian hari akan menimbulkan permasalahan bagi konsumen atau penghuni rumah susun terhadap perlindungan hukum serta status kepemilikan hak atas tanahnya. Konsumen Satuan Rumah Susun memiliki perlindungan hukum dengan kekuatan pembuktian lengkap atau sempurna atas dimilikinya Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dan memenuhi syarat sebagaimana tertulis dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun (UU Rumah Susun). Tujuan dalam hal ini yaitu untuk mengetahui perlindungan hukum bagi konsumen terhadap status kepemilikan satuan rumah susun dan untuk mengetahui proses peralihan hak konsumen dalam rumah susun berdasarkan UU Rumah Susun.
Terdapat beragam istilah yang berkaitan dengan Rumah Susun, antara lain; Apartemen, Flat, Kondominium, Strata Tittle, dan Joint Property. Peraturan Perundang-undangan yang terdapat di Indonesia sebenarnya hanya mengenal istilah rumah susun. Istilah-istilah lain hanya merupakan istilah serapan dari bahasa asing yang digunakan oleh para pengembang dalam memasarkan produknya. Hal ini disebabkan karena istilah rumah susun cenderung diberi makna sebagai hunian bertingkat yang diperuntukkan bagi masyarakat ke bawah.
Kisruh pengelolaan rumah susun atau apartemen yang masih terjadi hingga saat ini disebabkan kurangnya sosialisasi hukum yang mengatur hak dan kewajiban penghuni, pemilik, pengembang dan badan pengelola. Peristiwa itu terjadi setelah tiga bulan serah terima kunci pada seluruh unit apartemen. Tentu saja, seandainya pihak-pihak yang terlibat pertikaian memahami dengan benar regulasi apartemen (rumah susun), maka masalah-masalah seperti dualisme perhimpunan penghuni dan pengelolaan apartemen tidak akan terjadi. Menurut pengamat hukum properti Erwin Kallo Kurangnya sosialisasi aturan hukum, mengakibatkan terciptanya kekeliruan persepsi di kalangan masyarakat. Pengembang selalu dianggap dalam posisi salah, dan pemilik atau penghuni selalu dianggap dalam posisi benar. Padahal, belum tentu seperti itu.

Dalam hal pembangunan rumah susun pemerintah menyarankan untuk melakukan penurunan terhadap tanah berstatus hak milik dikarenakan sesuai dalam pasal 571 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “Hak milik atas sebidang tanah meliputi hak milik atas segala sesuatu yang ada di atasnya dan di dalam tanah itu”. Kebijakan tersebut berdasarkan pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yaitu “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Dikarenakan pembangunan rumah susun merupakan gerakan alternatif pemerintah dalam mengendalikan kepadatan masyarakat yang membutuhkan tempat tinggal, oleh karena itu pemerintah menyarankan kepada pemilik tanah dibangunnya rumah susun untuk menurunkan hak atas tanahnya menjadi Hak Guna Bangunan yang mana hak ini selalu berada dalam pengawasan pemerintah sebelum tanah dibangunnya rumah susun dipindah alihkan kepada orang lain. Dan kebijakan tersebut mendapat kepastian hukum dengan adanya Pasal 18 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang. Dan peraturan mengenai penurunan hak atas tanah tercantum dalam Peraturan Menteri Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. UU Rumah Susun mengenal beberapa Jenis rumah susun, yaitu :
  •  Rumah Susun Umum adalah rumah susun yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Rumah susun umum inilah yang kemudian berkembang menjadi Rusunami atau Rusunawa.
  • Rumah Susun Khusus adalah rumah susun yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan khusus. 
  • Rumah Susun Negara adalah rumah susun yang dimiliki oleh negara yang menjadi tempat tinggal, sarana pembinaan dan penunjang pelaksanaan tugas pejabat dan pegawai negeri.
  • Rumah Susun Komersial adalah rumah susun yang diselenggarakan untuk mendapatkan keuntungan. Rumah susun komersial oleh pengembang sering disebut apartemen, flat, atau kondominium.
Terdapat beragam cara untuk menguasai Satuan Rumah Susun (Sarusun).Sarusun pada rumah susun umum dan rumah susun komersial dapat dikuasai dengan cara dimiliki atau disewa. Sarusun pada rumah susunn khusus dapat dikuasai dengan cara pinjam-pakai atau sewa, sedangkan pada rumah susun negara dengan cara pinjam-pakai, sewa, atau sewa-beli.
Pengelolaan pada rumah susun meliputi kegiatan operasional, pemeliharaan, dan perawatan bagian bersama, benda bersama, dan atanah bersama. Kegiatan pengelolaan pada rumah susun umum milik dan rumah susun umum komersial wajib dilaksanakan oleh pengelola yang berbadan hukum dan mendapatkan izin usaha dari Pemerintah Daerah. Kepemilikan Bersama, yang dimiliki secara bersama-sama secara proporsional dengan para pemilik lainnya pada Rumah Susun tersebut, yang terdiri dari : 
  • Tanah bersama, adalah sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang diatasnya berdiri Rumah Susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin bangunan. Yang dapat dijadikan tanah bersama dalam pembangunan rumah susun adalah tanah-tanah yang berstatus/bersertifikat hak milik, HGB atau hak pakai. Mengingat penyelenggara pembangunan (pengembang) berbadan hukum, maka tanah bersama itu akan bersertifikat induk HGB, yang nantinya HGB tersebut tidak dipecah tetapi akan diberi keterangan bahwa HGB tersebut telah melahirkan beberapa sertifikat hak milik satuan Rumah Susun (SHM Sarusun) dan tidak dapat dialihkan atau dijaminkan. 
  • Bagian bersama, adalah bagian Rumah Susun (melekat pada struktur bangunan ) yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam satu kesatuan Fungsi dengan satuan Rumah Susun. Contoh, fondasi, atap, lobi, lift, saluran air, jaringan listrik, gas, dan telekomunikasi.
  • Benda bersama, adalah benda yang bukan merupakan bagian Rumah Susun (tidak melekat pada struktur bangunan), tetapi dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama. Contoh, tanah, tempat parkir, kolam renang yang di luar struktur, dan lain-lain.
Pada Pasal 74 ayat  (1) UU Rumah Susun mewajibkan pemilik sarusun untuk membentuk Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS). P3SRS merupakan badan hukum yang bertugas untuk mengurus kepentingan para pemilik dan penghuni yang berkaitan dengan pengelolaan kepemilikan tanah bersama, bagian bersama, benda bersama, dan penghunian yang dituangkan dalam Anggran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga P3SRS.


Referensi :
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun
Andrian Sutedi, Hukum Rumah Susun dan Apartemen, Sinar Grafika, Jakarta, 2010
Imam Koeswahyono, Hukum Rumah Susun: Suatu Bekal Pengantar Pemahaman, Bayumedia, Malang, 2004
sites.google.com/site/arkideaproperty
thepresidentpostindonesia.com
properti.kompas.com
ojs.unud.ac.id
www.jurnalhukum.com

Sabtu, 10 Januari 2015



Peninjauan Kembali Untuk Keadilan

Sikap berhati-hati eksekutor untuk mengeksekusi beberapa terpidana mati merupakan tindakan bijaksana dan harus diletakkan dalam konteks penegakan hukum yang adil. Peninjauan kembali pada hakikatnya tidak menunda pelaksanaan hukuman. Namun, karena keputusan ini menyangkut nyawa manusia, kehati-hatian merupakan keniscayaan.
Hukuman mati merupakan suatu dilema dalam penegakan hukum. Eksistensinya selalu menimbulkan kontraversi. Oleh karena itu, sikap negara-negara di dunia terbelah menjadi dua: ada yang tetap mempertahankan (kelompok retensionis), banyak juga yang telah  menghapuskannya (kelompok abolisionis), baik untuk kejahatan tertentu maupun untuk semua kejahatan. Belanda yang menjadi cikal bakal hukum Indonesia telah menghapuskan hukuman mati pada 1870, kecuali dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer; akan tetapi ironisnya, wetboek van strafrecht yang diberlakukan di tanah jajahan, eksistensi hukuman mati justru dipertahankan. Alasannya, hukuman mati terutama untuk kasus pembunuhan berencana (moord), didasarkan pada pertimbangan keadaan khusus Hindia Belanda yang menghendakinya.
Namun, setelah kemerdekaan, beberapa ketentuan hukum positif memberikan pengaturan tentang hukuman mati. Sebutlah dalam Undang-undang senjata api dan  bahan peledak, Undang-undang pemberantasan kegiatan subversi maupun narkoba hingga terorisme, hukuman mati merupakan salah satu yang diancamkan terhadap delik-delik yang disebutkan di atas.
Terpidana mati yang menurut rencana hendak dieksekusi oleh Kejaksaan terdiri atas dua golonngan besar, yakni karena kasus narkotika dan pembunuhan berencana, disamping terorisme. Kedua jenis delik ini merupakan delik yang berdampak serius bagi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Pembunuhan berencana merupakan ancaman terhadap eksistensi masyarakat, sementara narkotika tergolong kejahatan yang membahayakan kelangsungan negara. Tentang kejahatan narkoba, sikap kita jelas menyatakan perang dan tidak ada ampun bagi mereka yang melanggar.
Pengajuan Peninjauan Kembali (PK) lebih dari satu kali merupakan praktik penegakan hukum. Rambu-rambu di KUHAP telah tegas menyatakan upaya hukum itu hanya dapat dilakukan satu kali. Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim yang telah final tidak mentah kembali, nasib terpidana tidak teombang-ambing karena menunggu begitu lama eksekusi hukuman, begitu juga korban akan mendapat keadilan karena pelaku telah dihukum. Permohonan PK lebih dari sekali disebabkan adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam permohonan uji materi yang dilakukan Antasari Anzhar. Namun, ada yang menuding putusan MK  No. 34/PUU-XI/2013 itu merupakan biang keladi ketidakpastian hukum saat ini. Padahal, kalau kita mau jujur dan sedikit jernih berpikir, dikabulkannya permohonan Antasari Azhar disebabkan ada beberapa alat bukti yang tidak dipertimbangkan secara maksimal. Apabila alat bukti dimaksud diperiksa, putusan yang dijatuhkan akan jadi lain. Untuk maksud itulah Herziening atau PK diatur dalam Undang-undang. Novum yang dipersyaratkan harus telah ada lebih dahulu ketika pemeriksaan di sidang pengadilan dimulai. Misalnya ada saksi kunci yang tidak diperiksa, atau alat bukti yang tidak dipertimbangkan secara patut (onvoldoende gemotiveerd). Dengan demikian, potensi cacatnya putusan menjadi besar. Untuk memberikan keadilan kepada pelaku, PK merupakan jalan keluarnya.
Berbeda dalam kejahatann narkotika, apabila unsur objektif dan subyektif tindak pidana telah terpenuhi dan hakim yakin akan kesalahan terdakwa, putusan dapat segera dijatuhkan. Celah untuk medapatkan novum mejadi semakin sempit. Kecuali kalau terjadi error in persona ataupun error in objecto, PK merupakan pintu keluar dari peradilan sesat tersebut. Apabila sebaliknya, PK merupakan taktik terpidana untuk mengulur-ulur eksekusi hukuman sekaligus petunjuk bahwa yang bersangkutan tidak mengindahkan hukuman. Dalam keadaan demikian itu, kewibawaan negara menjadi taruhannya. Mengidentikkan PK dalam kasus Antasari Azhar dengan kasus narkotika yang telah in kracht van gewijsde zaak tetapi masih mengajukan PK berkali-kali merupakan tindakan yang tidak adil sebab keduanya tidak identik.
Dibatasi atau tidak pengajuan PK tidak prinsipal, karena yang perlu dihadirkan  adalah keadilan dalam proses hukum tersebut. Apabila cara mengadili telah dilaksanakan, code of conduct diindahkan, penegakan hukum, terutama hakim, tak perlu lagi ragu-ragu menjatuhkan putusan. Begitu juga eksekutor (Jaksa), apabila upaya hukum telah ditempuh dan tak ada pelanggaran hukum dalam proses peradilan sebelumnya, tindakan mengulur-ulur eksekusi hukuman bisa dituding publik sebagai ketidaktegasan. Ketegasan harus diikuti kecermatan dalam batas-batas manusiawi. KUHAP ketika disahkan tahun 1981 telah menyadari kebenaran sesungguhnya itu  adalah milik Tuhan. Penegak hukum hanya bisa mengusahakan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil.
Apabila materiele waarheid itu telah dicapai dan tidak ada keraguan terhadapnya, eksekusi hukuman tidak usah ditunda lagi, sesuai dengan moto justice delayed is justice denied. Penegak hukum tidak boleh memperhatikan hak-hak terpidana saja, tetapi harus juga memperhatikan hak-hak korban dan masyarakat keseluruhan akan tuntutan tegaknya keadilan. Apabila due process of law telah dilaksanakan; begitu juga hak-hak tersangka/terdakwa telah dipenuhi, itu berarti bahwa putusan yanng telah dijatuhkan  merupakan putusan yang sah dan eksekusinya conditio sine qua non demi menjaga martabat pengadilan dan kewibawaan negara. Kalau hakim di Inggris dengan lantang menyatakan Anda dihukum bukan karena mencuri domba, melainkan agar domba lain tidak dicuri, maka hal yang sama juga dapat dikatakan: Anda dihukum bukan karena menngedarkan narkoba, melainkan untuk menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran akibat narkoba.

Referensi:
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013
SEMA Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana
Koran Kompas tanggal7 Januari 2015 hal 7

Jumat, 02 Januari 2015

PK Pidana Hanya Satu Kali

Gedung Mahkamah Agung di Jl. Medan Merdeka Utara No. 9-13
Jakarta

Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang peninjauan kembali (PK) yang hanya diperbolehkan satu kali. MA menegaskan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014 yang membolehkan PK berkali-kali tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pada 2013, Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi Pasal 268 ayat 3 KUHAP yang diajukan oleh mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar. MK menilai pengajuan PK yang hanya satu kali seperti tertulis dalam pasal itu bertentangan dengan UUD 1945 dan rasa keadilan. Lalu, MK membatalkan pasal itu, yang artinya, terpidana boleh mengajukan permohonan PK lebih dari satu kali.
Antasari beserta istri dan anaknya mintra MK membatalkan Pasal 268 Ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Antasari, terpidana 18 tahun penjara dalam kasus pembunuhan Direktur PT Rajawali Putra Banjaran NasrudinZulkarnaen,  berniat mengajukan PK kedua, tetapi terganjal oleh ketentuan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP.
SEMA itu ditandatangani Ketua MA Hatta Ali 31 Desember 2014 dan telah diedarkan kepada seluruh ketua pengadilan di seluruh Indonesia. MA menyatakan putusan MK itu non executable karena berdasarkan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 ayat 2 menyatakan tegas tidak ada PK atas PK. Selain itu, dalam UU tentang Mahkamah Agung (MA) Pasal 66 ayat 1 juga menegaskan dengan nyata bahwa PK hanya satu kali. Pasal ini berbunyi: Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 kali. Kedua Pasal tersebut tidak dibatalkan MK.
Dengan dasar hukum di atas, maka putusan MK yang menghapus ketentuan PK dalam KUHAP pada 6 Maret 2014, tidak serta merta menghapus norma hukum yang mengatur permohonan peninjauan kembali yang diatur di UU MA dan UU Kekuasaan Kehakiman.
Hakim Agung Topane Gayus Lumbuun mengungkapkan, penerbitan SEMA tentang PK merupakan wewenang pimpinan MA. Namun, MA perlu lebih profesional dalam menyikapi putusan MK, khususnya jika SEMA itu ditujukan untuk PK pidana. Penerbitan SEMA seharusnya juga memperlihatkan aspek yang akan menjadi polemik di masyarakat. Gayus menuturkan putusan MK bersifat erga omnes, yang artinya harus ditaati oleh semua orang, sementara putusan MA bersifat inter partes, yang artinya hanya mengikat pihak yang berperkara. Dalam pemahaman hukum administrasi negara, kedudukan surat edaran berada di bawah peraturan. Oleh karena itu, SEMA No 7/2014 tidak dapat mengesampingkan putusan MK.
Menurut Gayus, Pasal 268 Ayat (3) KUHAP yang dibatalkan MK bersifat lex spesialis. Adapun pasal-pasal dalam UU MA dan UU Kekuasaan Kehakiman yang mengatur PK bersifat generalis, yaitu berlaku juga untuk semua perkara. Jadi, SEMA No 7/2014 seharusnya hanya berlaku untuk perkara PK di luar pidana karena ketentuan terkait PK pidana sudah dibatalkan.
Hal senada disampaikan Ketua Badan Pengurus Institute for Criminal Justice Reform, Anggara. Menurut dia, MA telah melupakan prinsip lex spesialis derogat legi generali (hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum) dalam pembentukan SEMA No 7/2014. “Dengan melanggar prinsip ini, MA telah mengingkari prinsip negara hukum yang dianut di UUD 1945”. Menyusul keluarnya SEMA No 7/2014, kuasa hukum Antasari Azhar, Boyamin Saiman, menyatakan akann mengadukan MA ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) dan Komisi HAM PBB. Ia menilai, SEMA itu telah menghalangi hak seseorang untuk mendapatkan keadilan. Selain itu, pihaknya juga akan menguji ketentuan-ketentuan dalam UU MA dan UU Kekuasaan Kehakiman terkait pengaturan PK hanya sekali.


Referensi :
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013
SEMA Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana
Koran Kompas tanggal 2 Januari 2015 Hal 3
http://liputanislam.com/berita 2 Januari 2014