Sabtu, 10 Januari 2015



Peninjauan Kembali Untuk Keadilan

Sikap berhati-hati eksekutor untuk mengeksekusi beberapa terpidana mati merupakan tindakan bijaksana dan harus diletakkan dalam konteks penegakan hukum yang adil. Peninjauan kembali pada hakikatnya tidak menunda pelaksanaan hukuman. Namun, karena keputusan ini menyangkut nyawa manusia, kehati-hatian merupakan keniscayaan.
Hukuman mati merupakan suatu dilema dalam penegakan hukum. Eksistensinya selalu menimbulkan kontraversi. Oleh karena itu, sikap negara-negara di dunia terbelah menjadi dua: ada yang tetap mempertahankan (kelompok retensionis), banyak juga yang telah  menghapuskannya (kelompok abolisionis), baik untuk kejahatan tertentu maupun untuk semua kejahatan. Belanda yang menjadi cikal bakal hukum Indonesia telah menghapuskan hukuman mati pada 1870, kecuali dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer; akan tetapi ironisnya, wetboek van strafrecht yang diberlakukan di tanah jajahan, eksistensi hukuman mati justru dipertahankan. Alasannya, hukuman mati terutama untuk kasus pembunuhan berencana (moord), didasarkan pada pertimbangan keadaan khusus Hindia Belanda yang menghendakinya.
Namun, setelah kemerdekaan, beberapa ketentuan hukum positif memberikan pengaturan tentang hukuman mati. Sebutlah dalam Undang-undang senjata api dan  bahan peledak, Undang-undang pemberantasan kegiatan subversi maupun narkoba hingga terorisme, hukuman mati merupakan salah satu yang diancamkan terhadap delik-delik yang disebutkan di atas.
Terpidana mati yang menurut rencana hendak dieksekusi oleh Kejaksaan terdiri atas dua golonngan besar, yakni karena kasus narkotika dan pembunuhan berencana, disamping terorisme. Kedua jenis delik ini merupakan delik yang berdampak serius bagi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Pembunuhan berencana merupakan ancaman terhadap eksistensi masyarakat, sementara narkotika tergolong kejahatan yang membahayakan kelangsungan negara. Tentang kejahatan narkoba, sikap kita jelas menyatakan perang dan tidak ada ampun bagi mereka yang melanggar.
Pengajuan Peninjauan Kembali (PK) lebih dari satu kali merupakan praktik penegakan hukum. Rambu-rambu di KUHAP telah tegas menyatakan upaya hukum itu hanya dapat dilakukan satu kali. Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim yang telah final tidak mentah kembali, nasib terpidana tidak teombang-ambing karena menunggu begitu lama eksekusi hukuman, begitu juga korban akan mendapat keadilan karena pelaku telah dihukum. Permohonan PK lebih dari sekali disebabkan adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam permohonan uji materi yang dilakukan Antasari Anzhar. Namun, ada yang menuding putusan MK  No. 34/PUU-XI/2013 itu merupakan biang keladi ketidakpastian hukum saat ini. Padahal, kalau kita mau jujur dan sedikit jernih berpikir, dikabulkannya permohonan Antasari Azhar disebabkan ada beberapa alat bukti yang tidak dipertimbangkan secara maksimal. Apabila alat bukti dimaksud diperiksa, putusan yang dijatuhkan akan jadi lain. Untuk maksud itulah Herziening atau PK diatur dalam Undang-undang. Novum yang dipersyaratkan harus telah ada lebih dahulu ketika pemeriksaan di sidang pengadilan dimulai. Misalnya ada saksi kunci yang tidak diperiksa, atau alat bukti yang tidak dipertimbangkan secara patut (onvoldoende gemotiveerd). Dengan demikian, potensi cacatnya putusan menjadi besar. Untuk memberikan keadilan kepada pelaku, PK merupakan jalan keluarnya.
Berbeda dalam kejahatann narkotika, apabila unsur objektif dan subyektif tindak pidana telah terpenuhi dan hakim yakin akan kesalahan terdakwa, putusan dapat segera dijatuhkan. Celah untuk medapatkan novum mejadi semakin sempit. Kecuali kalau terjadi error in persona ataupun error in objecto, PK merupakan pintu keluar dari peradilan sesat tersebut. Apabila sebaliknya, PK merupakan taktik terpidana untuk mengulur-ulur eksekusi hukuman sekaligus petunjuk bahwa yang bersangkutan tidak mengindahkan hukuman. Dalam keadaan demikian itu, kewibawaan negara menjadi taruhannya. Mengidentikkan PK dalam kasus Antasari Azhar dengan kasus narkotika yang telah in kracht van gewijsde zaak tetapi masih mengajukan PK berkali-kali merupakan tindakan yang tidak adil sebab keduanya tidak identik.
Dibatasi atau tidak pengajuan PK tidak prinsipal, karena yang perlu dihadirkan  adalah keadilan dalam proses hukum tersebut. Apabila cara mengadili telah dilaksanakan, code of conduct diindahkan, penegakan hukum, terutama hakim, tak perlu lagi ragu-ragu menjatuhkan putusan. Begitu juga eksekutor (Jaksa), apabila upaya hukum telah ditempuh dan tak ada pelanggaran hukum dalam proses peradilan sebelumnya, tindakan mengulur-ulur eksekusi hukuman bisa dituding publik sebagai ketidaktegasan. Ketegasan harus diikuti kecermatan dalam batas-batas manusiawi. KUHAP ketika disahkan tahun 1981 telah menyadari kebenaran sesungguhnya itu  adalah milik Tuhan. Penegak hukum hanya bisa mengusahakan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil.
Apabila materiele waarheid itu telah dicapai dan tidak ada keraguan terhadapnya, eksekusi hukuman tidak usah ditunda lagi, sesuai dengan moto justice delayed is justice denied. Penegak hukum tidak boleh memperhatikan hak-hak terpidana saja, tetapi harus juga memperhatikan hak-hak korban dan masyarakat keseluruhan akan tuntutan tegaknya keadilan. Apabila due process of law telah dilaksanakan; begitu juga hak-hak tersangka/terdakwa telah dipenuhi, itu berarti bahwa putusan yanng telah dijatuhkan  merupakan putusan yang sah dan eksekusinya conditio sine qua non demi menjaga martabat pengadilan dan kewibawaan negara. Kalau hakim di Inggris dengan lantang menyatakan Anda dihukum bukan karena mencuri domba, melainkan agar domba lain tidak dicuri, maka hal yang sama juga dapat dikatakan: Anda dihukum bukan karena menngedarkan narkoba, melainkan untuk menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran akibat narkoba.

Referensi:
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013
SEMA Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana
Koran Kompas tanggal7 Januari 2015 hal 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar